-->

Sunday 27 November 2016

author photo


KONSEP DASAR PELATIHAN

A.      PENDAHULUAN

Kebutuhan akan peningkatan penguasaan ilmu dan teknologi pada masa sekarang semakin dirasakan seiring dengan semakin luasnya dan semakin rasionalnya hubungan-hubungan manusia ddalam tatanan global masyarakat modern. Fenomena ini paling tidak dapat didekati dan kecendrungan tiga elemen penting, yaitu bahwa: (1) individu-individu semakin membutuhkan wawasan -wawasan dan penguasaan keterampilan-keterampilan baru atau tambahan bagi penyesuaian dengan tuntunan dunia kerja, peningkatan karier, atau aktualisai diri di masyarakat; (2) organisasi-organisasi usaha maupun organisasi sosial memandang perlu dan mendesak untuk memiliki sumber daya-sumber daya manusia yang mampu mengembangkan strategi-strategi operasi yang dapat diandalkan dalam iklim usaha yang semakin kompetetif; dan (3) pemerintah sangat berkepentingan dengan upaya-upaya memajukan kesejahtraan sosial lewat pengembangan potensi insani pada lingkup mikro organisasi maupun lingkup makro masyarakat. Kecendrungan ketiga elemen penting tersebut terpacu oleh iklim dan tatanan global yang menuntut penyesuaian-penyesuaian yang cepat, tepat, dan rasional pada mekanisme hubungan-hubungan yang terbuka dan kompetitif, baik pada sektor-sektor domestik maupun dalam konteks hubungan antar bangsa. Dalam kaitan dengan hal tersebut, kebutuhan-kebutuhan akan penguasaan ilmu teknologi selama ini memang secara konvensional telah banyak dipenuhi lewat pendidikan, khususnya pendidikan formal atau sekolah. Pendidikan pada masa sekarang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan setiap masyarakat dan bangsa. Pada umumnya diakui bahwa pendidikan berkontribusi signifikan terhadap kesejahtraan masyarakat dan kemajuan bangsa. Hanya saja diakui bahwa terdapat perbedaan antar masyarakat dan bangsa dalam hal pemberian prioritas atau kadar perhatian terhadap pendidikan, yang sampai batas-batas tertentu mencerminkan tingkat konsistensi para pembuat kebijakan. Namun mengatasi variasi-variasi yang ada, secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan telah menjadi sektor yang menentukan. Namun secara subtansial, aktivitas pendidikan pada dasarnya tidak hanya berupa pendidikan sekolah, atau cukup dengan dan berhendi pada, pendidikan formal. Mengingat sifat-sifatnya, terutama yang lebih bercorak akademik dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka pendiddikan sekolah (saja) tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis dan mendesak. Sekolah memiliki persistensinya tersendiri yang bsering lambat merespon perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya dan dunia yang lebih luas. Pada hal sebagaimana dapat disaksikan, perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknilogi sering berlangsung sangat cepat. Perubahan-perubahan tersebut jelas perlu diimbangi secara tepat. Oleh karena itu, dalam masyarakat modern, atau masyarakat yang dalam orientasi ke arah masyarakat yang lebih maju, pendidikan dalam artiyang konvensional itu pada dasarnya telah menjadi sesuatu yang standar saja. Pendidikan formal lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan akan penguasaan pengetahuan dan kemampuan dasar yang memang sangat diperlukan. Sementra untuk memenuhi kebutuhan akan wawasan-wawasan aktual dan kecakapan-kecakapan praktis, terutama yang bersifat segera, masyarakat demikian lebih mengandalkan pada mekanisme-mekanisme pelatihan yang dilaksanakan diluar sekolah.
Berbagai pelatihan memang lebih banyak dilaksanakan dalam masyarakat atau dalam dunia kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatan-kegiatan pelatihan ini sangat populer dan mudah dilakukan karena menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan dan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah. Meskipun demikian dalam banyak kasus pula pelaksanaan pelatihan ini tidak jarang dipadukan atau saling melengkapi dengan pendidikan formal.

B.       Uraian materi
1.        Pengertian pelatihan
Istilah pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training” dalam bahasa inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah “train”, yang berarti: (1 memberi pelajaran dan praktik (give teaching and practice), (2) menjadikan berkembang dalam arah yang dikhendaki (cause to grow in a required direction), (3) persiapan (preparation), dan (4) praktik (practice).
Banyak pengertian pelatihan yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut.
Edwin B.Flippo (1971) mengemukakan bahwa: “training is the act of increasing the knoeledge and skill of an employee for doing a particular job” (pelatiah adalah tindakan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan tertentu).
Michael J. Jucius (1971) mengemukakan: “the term training is used here to indicate any process bay wich the aptitudes, skill, and abilities of employes to perform specipic jobs are in creased” (istilah latihan yang dipergunakan disini adalah untuk menunjukan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan, dan kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu).
Dalam kedua pengertian diatas tampak pelatihan dilihat dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam kenyataan, pelatiha sebenarnya tidak harus selalu dalam kaitan dengan pekerjaan, atau tidak selalu diperuntukkan bagi pegawai.
Simamora (1995: 287) mengartikan pelatihan sebagai serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, atau perubahan sikap seorang individu. Sementara dalam instruksi presiden No.15 tahun 1974, pengertian pelatihan dirumuskan sebagai berikut:
pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan menggunakan metode yang lebih mengutamakan praktik dari pada teori.



     style="display:inline-block;width:728px;height:90px"
     data-ad-client="ca-pub-8067627388430876"
     data-ad-slot="6600219145">

Istilah pelatihan biasa dihubungkan dengan pendidikan. Ini terutama karena secara konsepsional pelatihan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Meskipun demikian secara khusus pelatihan dapat dibedakan dari pendidikan.untuk memahami istilah pendidikan, kriteria yang dikemukakan oleh peters (1996, hal 45) berikut ini mungkin dapat menjadi acuan. Kriteria tersebut antara lain sebagai berikut.
Ø  Pendidikan meliputi penyebaran hal yang bermanfaat bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Ø  Pendidikan harus melibatkan pengetahuan dan pemahaman serta sejumlah perspfektif kognitif.
Ø  Pendidikan setidaknya memiliki sejumlah prosedur, dengan asumsi bahwa peserta didik belum memiliki pengetahuan dan kesiapan belajar secara sukarela.
Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2005, dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Secara lebih sederhana UNESCO mendefinisikan pendidikan sebagai “proses belajar mengajar yang terorganisir dan terus menerus yang dirancang untuk mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, skill, dan pemahaman yang bernilai untuk seluruh aktivitas hidup” (dalam Jaersvis 1990, hal 105). kata kunci yang membedakan antara pembelajaran dan pendidikan, adalah “proses belajar mengajar ysng terorganisir dan terus menerus”. hal ini mengimplikasikan adanya keterlibatan semacam pengajar dan mungkin juga institusi,walaupun pendidikan tersebut bisa saja melalui teks ataupun program kompute. Di samping itu, tergambar bahwa pendidikan bukan merupakan proses yang terjadi dalam waktu singkat, namun memerlukan kurun waktu tertentu. Sebaliknya, pembelajaran tidak harus selalu melibatkan proses belajar mengajar yang sering kali terjadi dalam kerangka waktu yang lebih pendek dan dalam cakupan yang lebih sempit.
Definisi yang diberikan UNESCO, menunjukan bahwa pendidikan lebih bersifat umum dan bukan merupakan aktivitas yang spesifik. Pendidikan digambarkan memiliki kaitan dengan pengembangan pengetahuan dan pemahaman.
Pengguaan kata “pemahaman” untuk membedakannya dengan “pengetahuan” mengimplikasikan bahwa yang dipermasalahkan lebih dari sekedar informasi dan kemampuan untuk berkomunikasi atau bertindak berdasarkan suatu formula, resep, dan instruksi (karena yang seperti ini lebih cendrung merupakan karakteristik pengetahuan, bukan pendidikan). kemampuan menyunsun tanggal, menjawab pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum, atau mereproduksi penjelasan yang sedikit agak komplek tidak menunjukan seseorang telah terdidik.
Seseorang yang terdidik haruslah memiliki pengetahuan penjelasan, dan alasan yang sudah terinternalisasi dan dia mampu memberikan makna. Dia harus memahami apa yang sebenarnya di balik apa yang terlihat, dia mampu memahami suatu hal dalam sebuah kerangka pemahaman teoritis yang lebih luas.
Pendekatan yang berbeda dalam memahami apa yang dimaksud pendidikan telah dikemukakan pada sosiolog, dengan memfokuskan pada fungsi dan tempatnya dalam masyarakat (Blackledge and Hunt. 1985). pengetahuan dan pemahaman, yang merupakan tujuan pendidikan, lebih dipandang sebagai sesuatu yang terbentuk secara sosial, bukan sesuatau yang absolut.
Sistem pendidikan dipandang sebagai perangkat negara, yang fungsinya untuk menciptakan masyarakat (pekerja) yang memiliki kualitas dan keterampilan yang dibutuhkan. Sehingga berdasarkan pandangan tersebut, pendidikan merupakan usaha untuk mereproduksi klasifikasi sosial dan ekonomi (lihat Boudleu and Passeron 1990, Bowles and Gintis 1976, Young 1998). berdasarkan pandangan tersebut, makna pendidikan tentu saja tidak bisa dipahami secara individual maupun psikologis, tetapi perlu adanya pemahaman berdasarkan konteks sosialnya yang lebih luas.
Konteks yang dimaksud tidak hanya meliputi institusi pendidikan, institusi pendukung lainya, maupun lingkungan dimana pendidikan tersebut dilaksanakan, melainkan juga meliputi pertimbangan terhadap posisi hubungan, maupun keterkaitan dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan memiliki implikasi politis, ekonomi, teknologi, dan sosial, serta harus tetap menjadi konsep yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, pelatihan biasanya diasosiasikan pada mempersiapkan seseorang dalam melaksanakan suatu peran atau tugas, biasanya dalam dunia kerja. Namun demikian, pelatihan biasa juga dilihat sebagai elemen khusus atau keluaran dari suatu proses pendidikan yang lebih umum. Peter mengemukakan, “konsep pelatihan bisa diterapkan ketika (1) ada sejumlah jenis keterampilan yang harus dikuasi, (2) latihan diperlukan untuk menguasai keterampilan tersebut, (3) hanya di perlukan sedikit penekanan pada teori”.
Definisi di atas memberikan penekanan pada “penguasaan” tugas atau peran dan kebutuhan untuk melakukan pengulangan latihan hingga bisa melakukan sendiri, dan juga menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan relatif spontan dan tanpa dimotivasi pengetahuan dan pemahaman.
Goldstein dan Gressner (1988), memberikan defenisi pelatihan yang ditekankan pada tempat dilaksanakan pelatihan. Mereka mendefinisakan pelatihan sebagai usaha sistematis untuk menguasai keterampilan, peraturan, konsep ataupun cara berperilaku yang berdampak pada peningkatan kerja. Minsalnya, untuk pelatihan untuk suatu jabatan kerja, setting pelatihan diusahakan semirip mungkin dengan lingkungan kerja sebenarnya. Contoh lainya, pelatihan juga bisa dilakukan ditempat yang sangat berbeda dengan lingkungan kerja yang sebenarnya, minsalnya di ruangan kelas.
Definisi kedua ini menambahkan informasi tentang fungsi pelatihan pada defenisi pertama, sehingga lebih memperjelas bahwa pelatihan setidaknya terkait dengan perilaku setidaknya dalam menghadapi tuga. Yang perlu dipertanyakan apakah hal ini bisa efektif dilakukan tanpa mengembangkan pengetahuan dan pemahaman peserta pelatihan, jika pelatih hanya membangun konsep dan perilaku peserta pelatihan. Namun defenisi kedua ini mempersempit lokasi pelatihan, karena berfokus pada pelatihan yang berhubungan dengan pekerjaan,
Konsep pelatihan juga di ungkapkan oleh Dearden (1984), yang menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar mengajar dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu atau efesiensi kerja. Sebagai hasil pelatihan, peserta diharapkan mampu merespon dengan tepat dan sesuai situasi tertentu seringkali pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja yang langsung berhubungan sengan situasinya.
Dearden lebih memilih menggunakan konsep kompetensi dibandingkan kinerja. Dia membatasi konsep tersebut untuk tujuan mempersiapkan peserta untuk bertindak berdasarkan situasi-situasi yang biasanya terjadi, serta menerapkannya pada saat melakukan tanggung jawab pekerjaan, baik beban yang lebih kompleks maupun lebih sederhana.
Walaupun para praktisi dan akademisi memiliki pandangan yang cukup jelas tentang makna pelatihan, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat umum. Minsalnya saja, walaupun sebagian besar masyarakat memiliki pemahaman yang cukup tentang istilah “pendidikan “ yang diasosiasikan dengan sekolah, akademi, universitas, ataupun istitusi pendidikan lainya, namun tidak bisa dikatakan mereka juga memiliki pemahaman yang cukup tentang pelatihan. Penelitian bari-baru ini terhadap masalah tersebut di Inggris sampai pada  kesimpulan sebagai berikut ini.
Ø  Masyarakat umumnya menggunakan istilah pelatihan untuk mengacu pada seperangkaty kegiatan-kegiatan yang lebih sempit dibandingkan kegiatan-kegiatan yang dipahami sebagai pelatihan untuk suatu profesi tertentu.
Ø  Bagi sebagian besar masyarakat pelatihan dilaksanakan di kursus-kursus formal.
Ø  Para penguasa memiliki definisi yang lebih sempit tentang pelatihan dibandingkan dengan para pekerja.
Ø  Kegiatan-kegiatan yang termasuk bagian dari definisi pelatihan akan sangat beragam di setiap kelompok masyarakat.
Ø  Kegiatan-kegiatan yang muncul atas inisiatif sendiri dan atau swadaya sedikit tidak mungkin.
Ø  Bagi sebagian besar masyarakat pelatihan berkaitan erat dengan vokasional
Ø  Bagi sebagian besar masyarakat, terdapat batasan yang tidak begitu jelas antara pelatihan dan pendidikan.

Sebagai konsep dasar, istilah pendidikan (education) dan pelatihan (traning) dan, sudah banyak didiskusikan secara luas, baik dalam konteks yang bertentangan (dikotomis), saling menambahkan maupun secara terpisah. Minsalnya, pendidikan dan pelatihan saat dipandang sebagai dua terminologi yang bertentanga, yang pertama dianggap umum dan berdasarkan pengetahuan, sedangkan yang berikutnya lebih spesifik berdasarkan skill. Analisis yang berdasarkan konteks yang saling menambahkan atau terpisah seringkali menggunakan diagram, dimana konsep-konsep yang didiskusikan tersebut digambarkan sebagai lingkaran atau elips. Dalam diagram tersebut, pelatihan dipersentasikan sebagai sebuah elips kecil yang merupak bagian dari elips yang lebih besar sebagai gambaran pendidikan. Elips yang lebih besar tadi merupakan bagian dari elips lebih besar lagi yang merupakan representasi pembelajaran, sperti yang terlihat pada gambar (a). sementara itu, dalam konteks kotomis, pendidikan dan pelatihan direpersentasikan sebagai dua buah elips yang saling beririsan, ilustrasinya seperti pada gambar (b).

                     A         B


 







Gambar 1.1 representasi pendidikan dan pelatihan
1)        Pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan dalam konteks yang saling menambahkan.
2)        Pendidikan dan pelatihan dalam konteks yang saling terpisah.

Perbedaan antara pendidikan dengan pelatihan dapat dianalogikan seperti halnya perbedaan antara pendidikan dan pembelajaran, dalam konteks membatasi dimensi lain terhadap area kajian. Pendekatan yang paling umum untuk membuat pembeda antara kedua istilah tersebut adalah dengan menggunakan konsep keluasan dan kedalaman cakupan spektrum pendidikan/pembelajaran dan pendidika/.pelatihan
Dari keseluruhan penjelasan tentang istilah pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang selalu dilakukan oleh setiap manusia, pendidikan dan pealtihan merupakan bagian dari proses pembelajaran manusia.
Perbedaan antara pendidikan dari pelatihan adalah pertama, pendidikan merupakan aktivitas pembelajaran yang sangat luas dan dalam dibandingkan pelatihan. Kedua, pelatihan lebih berkaitan dengan pengembangan keterampilan tertentu, sedangkan pendidikan lebih berkaitan dengan tingkatan-tingkatan pemahaman secara umum, secara lebih rinci, Notoatmodjo (1998:26) mengemukakan perbandingan antara pendidikan dan pelatihan pada beberapa aspek. Pertama, pada aspek pengembangan kemampuan, pendidikan lebih menekankan pada pengembangan kemampuan yang menyeluruh, sedangkan pelatihan lebih menekankan pengembangan kemampuan khusus. Kedua, pada aspek area kemampuan, pendidikan menekankan pada kemampuan kognitif, afektof, dan psikomotor; sedangkan pelatihan lebih menekankan pada kemampuan psikokotor. Ketiga, pada aspek jangka waktu pelaksanaan, pendidikan lebih bersifat jangka panjang, sedangkan pelatihan lebih bersifat jangka pendek. Keempat, pada aspek materi yang disampaiakan, pendidikan lebih bersifat umum, sedangkan pelatihan bersifat khusus. Kelima, pada aspek penggunaan metode, pendidikan lebih bersifat konvensional. Keenam, pada aspek penghargaanakhir, pendidikan memberikan gelar, sedangkan pelatihan memberikan sertifikat.
Ikhtisar perbandingan antara pendidikan dan latihan ini dapat dilihat pada tabel 1.11
No.
Aspek
Pendidikan
pelatihan
1.
Pengembangan  kemampuan
Menyeluruh (overall)
Khusus(Ispesific)
2.
Area kemampuan
Kognitif, afektif, psikomotrik.
Psikomotor
3.
Jangka waktu pelaksanaan
Jangka  panjang (long term)
Jangka pendek(shot term)
4.
Materi
Lebih umum
Lebih khusus
5.
Penggunanan metode pembelajaran
konvensional
Inkonvensional
6.
Penghargaan akhir
Gelar (degree)
Sertifikat (non degree)
Sumber: Notoatmodjo, 1998: 26.

Dari uraian mengenal pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan beberapa makna pelatihan sebagai berikut.
Ø  Pelatitihan merupakan proses yang disengaja atau direncanakan, bukan kegiatan yang bersifat kebetulan atau spontan. Pelatihan merupakan proses yang terdiri dari serangkaian kegiatan yang sistematis dan terencana yang terarah pada suatu kegiatan.
Ø  Pelatihan merupakan bagian pendidikan yang menyagkut proses belajar yang dilaksanakan di luar sistem sekolah, memerlukan waktu yang relatif singkat, dan lebih menekankan pada praktik.
Ø  Pelatihan diselenggarakan baik terkait pada kebutuhan dunia kerja maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.


2.        Tujuan pelatihan

Dale S.Beach (1975) mengemukakan, “the objective oftraining is to achieve a change in the behavior of theose trained” (tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh perubahan tingkah laku mereka yang dilatih). sementara itu dari pengertian pelatihan yang dikemukakan Edwin B. Flippo, secara lebih rinci tanpak bahwa tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Penulis lain mengemukakan bahwa tujuan pelatihan itu tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan juga untuk mengembangkan bakat. Hal ini sebagaimananayang tanpak pada definisi pelatihan yang dikekukakan oleh Michael J.Jucius di atas bahwa pelatihan bertujuan untuk mengembangkan bakat, keterampilan, dan kemampuan. Atas dasar ini Moekijat (1981) mengatakan bahwa tujuan umum pelatihan adalah untuk.
Ø  Untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif.
Ø  Untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional.
Ø  Untuk mengembangkan sikap, sehingga dapat menimbulkan kemauan untuk bekerjasama.

Secara khusus dalam kaitan  dengan pekerjaan, Simamora  (1995) mengelompokkan tujuan pelatihan kedalam lima bidang, yaitu:
ü  Memutahirkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi. Melalui pelatihan, pelatihan memastikan bahwa karyawan dapat secara efektif menggunakan teknologi-teknologi baru.
ü  Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan.
ü  Membantu memecahkan permasalahan operasional.
ü  Mempersiapkan karyawan untuk promosi, dan
ü  Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.

Sedangkan menurut Marzuki (1992:12), ada tiga tujuan pokok yang harus dicapai dengan pelatihan, yaitu:
Ø  Memenuhi kebutuhan organisasi.
Ø  Memperoleh pengertian dan pemahaman yang lengkap tentang pekerjaan dengan standar dan kecepatan yang telah ditetapkan dan dalam keadaan yang normal serta aman.
Ø  Membantu para pemimpin organisasi dalam melaksanakan tugasnya.


3.        Prinsip-prinsip pelatihan

Karena pelatihan merupakan bagian dari proses pembelajaran, maka prinsip-prinsip pelatihanpun dikembangkan dari prinsip-prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip umum agar pelatihan behasil adlah sebagi berikut.
a.         Prinsip perbedaan waktu
Perberdaan-perbedaan individu dalam latar belakang sosial pendidikan, pengalaman, minat, dan keperibadian harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pelatihan.
b.        Prinsip motivasi
Agar peserta pelatihan belajar dengan sangat giat perlu adanya motivasi. Motivasi dapat berupa pekerjaan atau kesempatan berusaha, penghasilan, kenaikan pangkat atau jabatan, dan peningkatan kesejahtraan serta kualitas hidup. Dengan begitu, pelatihan dirasakan bermakana oleh peserta pelatihan.
c.         Prinsip pemilihan dan pelatihan para pelatihan
Efektivitas program pelatihan antara lain bergantung pada para pelatih yang mempunyai minat dan kemampuan melatih. Anggapan bahawa seseorang yang dapat mengerjakan sesuatu dengan dengan baik akan dapat melatihnya dengan baik pula tidak sepenuhnya benar. Karena itu perlu ada pelatihan bagi para pelatih. Selain itu pemilihan dan pelatihan para pelatih dapat menjadi motivasi tambahan bagi peserta pelatihan.
d.        Prinsip belajar
Belajar harus dimulai dari yang mudah menuju kepada yang sulit, atau dari yang sudah diketahui menuju kepada yang belum diketahui.
e.         Prinsip partisipasi aktif
Partisipasi aktif dalam proses pembelajaran pelatihan dapat meningkatkan minat dan motivasi peserta pelatihan.
f.         Prinsip fokus pada batasan materi
Pelatihan hanya dilakukan untuk menguasai materi tertentu, yaitu melatih keterampilan dan tidak dilakukan terhadap pengertian, pemahaman, sikap, dan penghargaan.
g.        Prinsip diagnisis dan koreksi
Pelatihan berfungsi sebagai diagnosis melalui usaha yang berulang-ulang dan mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang timbul.
h.        Prinsip pembagian waktu
Pelatihan dibagi menjadi sejumlah kurun waktu yang singkat.
i.          Prinsip keseriusan
Pelatih jangan dianggap sebagai usaha sambilan yang dilakukan dengan seenaknya.
j.          Prinsip kerjasama
Pelatihan dapat berhasil dengan baik melalui kerjasama  yang apik antara semua semua komponen yang terlibat dalam pelatihan.
k.        Prinsip metode pelatihan
Terdapat berbagai metode pelatihan, dan tidak ada satupun metode pelatihan yang dapat digunakan untuk semua jenis pelatihan. Untuk itu perlu dicarikan metode pelatihan yang cocok untuk suatu pelatihan.
l.          Prinsip hubungan pelatihan dengan pekerjaan atau kehidupan nyata
Pekerjaan, jabatan, atau kehidupan nyata dalam organisasi atau dalam masyarakat dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan, keterampilan, dan sikap apa yang dibutuhkan, sehingga perlu diselenggrakan pelatihan.


4.        Landasan-landasan pelatihan

Terdapat beberapa landasan yang mengukuhkan eksistensi pelatihan. Landasan-landasan dimaksud adalah:
a.         Landasn filosofis
Pelatihan merupakan wahana formal yang berperan sebagai instrumen yang menunjang pembangunan dan mencapai masyarakat yang maju, tangguh, mandiri, dan sejahtra berdasarkan nilai-nilai yang berlaku. Dengan demikian pelatihan harus didasarkan pada sistem nilai yang diakui dengan terarah pada penyediaan tenaga yang berkualifikasi agar mampu mengemban tugas dan melaksanakan perannya dalam organisasi atau masyarakat.
b.        Landasan humanistik
Pelatihan didasarkan pada pandangan yang menitikberatkan pada kebebasan, nilai-nilai, kebaikan, harga diri, dan keperibadian yang utuh. Diatas landasan ini maka proses pembelajaran pelatihan dicirikan oleh hal-hal berikut.
Ø  Adanya pemberian tanggung jawab dan kebebasan bekerja kepada peserta.
Ø  Pelatih lebih banyak berperan sebagai narasumber, tidak mendominasi peserta.
Ø  Belajar dilakukan oleh dan untuk diri sendiri
Ø  Ada keseimbangan antara tugas umum dan tugas khusus.
Ø  Motivasi belajar tinggi.
Ø  Evaluasi bersifat komprehensif.
c.         Landasan psikologis
Dalam pandangan psikologi, karakteristik manusia dapat dijabarkan kedalam seperangkat tingkah laku. Empat pandangan psikologi yang mendasari pelatihan, yaitu psikologi pelatihan, psikologi sibernestik, desain sistem, dan psikologi behavioristik. Psikologi pelatihan menitik beratkan pada analisis tugas dan rancangan pelatihan yang mencakup berbagai komponen yang kompleks. Psikologi sibernestik memusatkan perhatian pada sistem balikan yang dinamis dan pengaturan sendiri kegiatan pelatihan. Disai sistem mengutamakan analisis sistem pelatihan. Psikologi behavioristik menekankan pada demonstrasi dan pelatihan bertahap.
d.        Landasan Sosio-Demografis
Permasalahan peningkatan kesejahtraan ekonomi dan sosial terkait dengan upaya penyediaan dan peningkatan kualitas tenaga kerja. Untuk itu pelatihan yang terintegrasi diperlukan guna mempersiapkan tenaga-tenaga yang handal yang relevan dengan tuntutan lapangan kerja dan pembangunan.
e.         Landasan kultural
Pelatihan yang terintegrasi yang berfungsi mengembangkan sumber daya manusia merupakan bagian penting dari upaya membudayakan manusia.


5.        Jenis-jenis pelatihan

Terdapat bermacam-macam pelatihan. Dale Yoder (1958) mengemukakan jenis-jenis pelatihan itu dengan memandangnya dari lima sudut, yaitu:
a.         Siapa yang dilatih (who gets trained), artinya pelatihan itu diberikan kepada siapa. Dari sudut ini maka pelatihan dapat diberikan kepada calon pegawai, pegawai baru, pegawai lama, pengawas, manajer, staf ahli, remaja, pemuda, orang lanjut usia, dan anggota masyarakat umumnya.
b.        Bagaiman ia dilatih (how gets trained), artinya dengan metode apa yang dilatih. Dari sudut ini pelatihan dapat dilaksanakan dengan metode pemagangan, permainan peran, permainan bisnis, pelatihan sensivitas, instruksi kerja, dan sebagainya.
c.         Di mana ia dilatih (where he gets trained), artinya di mana pelatihan mengambil tempat tempat. Dari sudut ini pelatihan dapat diselenggarakan di tempat kerja, di sekolah, di kampus, di tempat khusus, di tempat kursus, atau di lapangan.
d.        Bilamana ia dilatih (when he gets trained), artinya kapan pelatihan itu diberikan. Dari sudut ini pelatihan dapat dilaksanakan sebelum seseorang mendapat pekerjaan, setelah seseorang mendapat pekerjaan, setelah ditempatkan, menjelang pensiun, dan sebagainya.
e.         Apa yang dibelajarkan kepadanya (what he is taught), artinya materi pelatihan apa yang diberikan. Dari sudut ini pelatihan dapatberupa pelatihan kerja atau keterampilan, pelatihan kepemimpinan, pelatihan keamanan, pelatihan hubungan manusia, pelatihan kesehatan kerja, pelatihan penanggulangan bencana,pelatihan penumpasan teroris, dan sebagainya.

Sementara itu J.C Denyer (1973) yang melihat dari sudut siapa yang dilatih dalam konteks suatu organisasi, membedakan pelatihan atas empat macam, yaitu:
1.        Pelatihan induksi (induction training), yaitu pelatihan perkenalan yang biasa deberikan kepada pegawai baru dengan tidak memandang tingkatannya. Pelatihan induksi dapat diberikan kepada calon pegawai lulusan SD, SLTP, SMA, SMK, kesetaraan, dan lulusan perguruan tinggi.
2.        Pelatihan kerja  (job training), yaitu pelatihan yang diberikan kepada semua pegawai dengan maksud untuk memberikan petunjuk khusus guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.
3.        Pelatihan supervisor (supervisory training), yaitu pelatihan yang diberikan kepada supervisor atau pimpinan tingkat bawah.
4.        Pelatihan manajemen (management training), yaitu pelatihan yang diberikan kepada manajemen atau pemegang jabatan manajemen.
5.        Pengembangan eksekutif (executive development), yaitu pelatihan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat pimpinan.

Adapun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian disebutkan dua macam pelatihan dilihat dari sudut kapan pelatihan itu diberikan, yaitu latihan prajabatan dan latihan dalam jabatan.latihan prajabatan (pre service training) adalah pelatihan yang diberikan kepada calon pegawai negeri sipil dengan tujuan agar ia dapat trampil melaksanakan tugas yang akan diberikan kepadanya. Sedangkan latihan dalam jabatan (in service training) adalah pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan. Selain itu dalam Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 dikenal pila dua macam pelatihan dilihat dari sudut tujuanya, yaitu pelatihan keahlian dan pelatihan kejuruan. Pelatihan keahlian adalah bagian dari pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, termasuk didalamnya pelatihan ketatalaksanaan. Sedangkan pelatihan kejuruan adalah bagian dari pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang pada umumnya bertaraf lebih rendah.


6.        Manajemen pelatihan

Dengn jenis dan berbagai karakteristik apa pun, pada akhirnya pelatihan perlu dikelola atau dimanaje. Pengelolaan pelatihan secara tepat dan profesional dapat memberikan makna fungsional pelatihan terhadap individu, organisasi, maupun masyarakat.
Pelatihan memang perlu diorganisasikan. Oleh karena itu, biasa dikenal adanya organizer atau panitia pelatihan. Badan-badan pendidikan dan pelatihan, lembaga-lembaga kursus, dan panitia-panitia yang dibentuk secara isidental, pada dasarnya adalah organizer pelatihan. Sementara itu dalam organisasi perusahaan biasa dikenal pula divisi yang tersendiri maupun sabagai badan yang terintegerasi yang bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas pengembangan sumber daya manusia. Secara manajerial, fungsi-fungsi organizer pelatihan adalah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pelatihan. Sementara secara oprasional, tugas-tugas pokok organizer pelatihan adalah meliputi hal-hal berikut.
a.         Mengurusi kebutuhan pelatihan pada umumnya;
b.        Mengembangkan kebijakan dan prosedur pelatihan;
c.         Mengelola anggaran pelatihan;
d.        Mengembangkan dan menerapkan administrasi pelatihan;
e.         Meneliti metode-metode pelatihan yang sesuai untuk ditetapkan;
f.         Mempersiapkan materi, peralatan, fasilitas pelatihan; dan
g.        Menganalisis dan memperbaiki sestem pelatihan.

Sudjana (1996) mengembangkan sepuluh langkah pengelolaan pelatihan sebagai berikut.
1)        Rekrutmen peserta pelatihan
Rekrutmen peserta dapat menjadi kunci yang bisa menentukan keberhasilan langkah selanjutnya dalam pelatihan. Dalam rekrutmen ini penyelenggara menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh peserta terutama yang berhubungan dengan karakteristik peserta yang bisa mengikuti pelatihan. Kualitas peserta pelatihan ditentukan pada saat rekrutmen ini. Biasanya karakteristik peserta bisa dilihat secara internal dan eksternal. Yang termasuk karakteristik internal diantaranya adalah kebutuhan, minat, pengalaman, tugas, pekerjaan, dan pendidikan. Sedangkan yang tergolong karakteristik eksternal adalah lingkungan keluarga, status sosial, pergaulan, dan status ekonomi.
2)        Identifikasi kebutuhan belajar, sumber belajar, dan kemungkinan hambatan
Identifikasi kebutuhan belajar adalah kegiatan mencari, menemukan, mencatat, dan mengelolah data tentang kebutuhan belajar yang diinginkan atau diharapkan oleh peserta pelatihan atau oleh organisasi. Untuk dapat menemukan kebutuhan belajar ini dapat digunakan berbagai pendekatan. Kauffman (1972) mengemukakan tiga model pendekatan, yakni pendekatan induktif, pendekatan deduktif, dan pendekatan campuran induktif deduktif (Abdulhak, 1995:26). sedangkan Rumelar mengemukakan empat pendekatan, survey, studi kompetensi, analisis tugas, dan analisis performance. Sementara Arif (1985:34) mengemukan tiga sumber yang bias dijadikan dasar identifikasi kebutuhan belajar, yaitu individu yang diberi  pelayanan pelatihan, organisasi, dan atau lembaga yang menjadi sponsor, dan masyarakat secara keseluruhan.
3)        Menetukan dan merumuskan tujuan pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan akan menuntun penyelenggaraan pelatihan dari awal sampai akhir kegiatan, dari pembuatan rencana pembelajaran sampai evaluasi hasil belajar. Oleh karena it, perumusan tujuan harus dilakukan dengan cermat. Tujuan pelatihan secara umum berisi hal-hal yang harus dicapai oleh pelatihan. Tujuan umum itu dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik. Untuk memudahkan penyelenggara, perumusan tujuan harus dirumuskan secara kongkret dan jelas tentang apa yang harus dicapai dengan pelatihan tersebut.
4)        Menyunsun alat evaluasi dan evaluasi akhir
Evaluasi awal dimaksudkan untuk mengetahui “entry behavioral level” peserta pelatihan. Selain agar penentuan materi dan metode pembelajaran dapat dilakukan dengan tepat, penelusuran ini juga dimaksudkan untuk mengelompokkan dan menempatkan peserta pelatihan secara proposional. Evaluasi akhir dimaksudkan untuk mengukur tingkat penerimaan materi oleh peserta pelatihan. Selain itu juga untuk mengetahui materi-materi yang perlu diperdalam dan diperbaiki.
5)        Menyunsun urutan kegiatan pelatihan
Pada tahap ini penyelenggara pelatihan menentukan bahan belajar, memilih dan menentukan metode dan teknik pembelajaran,serta menentukan media yang akan digunakan. Urutan yang harus disusun disini adalah seluruh rangkaian aktivitas mulai dari pembukaan sampai penutupan. Dalam menyunsun urutan kegiatan ini faktor-faktor yang harus diperhatikan antara lain:
Ø  Peserta pelatihan
Ø  Sumber belajar
Ø  Waktu
Ø  Fasilitas yang tersedia
Ø  Bentuk pelatihan
Ø  Bahan pelatihan
6)        Pelatihan untuk pelatih
Pelatih harus memahami program pelatihan secara menyeluruh. Urutan kegitan, luang lingkup, materi pelatihan, metode yang digunakan, dan media yang dipakai hendaknya dipahami benar oleh pelatih. Selain itu pelatih juga harus memahami karakteristik peserta pelatihan dan kebutuhannya. Oleh karena utu, orientasi bagi pelatih sangat penting untuk dilakukan.
7)        Melaksanakan evaluasi bagi peserta
Evaluasi awal yang biasanya dilakukan dengan pre test dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.
8)        Mengimplementasikan pelatihan
Tahap ini merupakan inti dari kegiatan pelatihan, yaitu proses intraksi edukatif antara sumber belajar dengan warga belajar dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses ini terjadi berbagai dinamika yang semuanya harus diarahkan untuk efektivitas pelatihan. Seluruh kemampuan dan seluruh komponen harus disatukan agar proses pelatihan menghasilkan output yang optimal.
9)        Evaluasi akhir
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui keberhasilan belajar. Dengan kegiatan ini diharapkan diketahui daya serap dan penerimaan warga belajar terhadap berbagai materi yang telah disampaikan. Dengan begitu penyelenggara dapat menentukan langkah tindak lanjut yang harus dilakukan.
10)    Evaluasi program pelatihan
Evaluasi program pelatihan merupakan kegiatan untuk menilai seluruhnya kegiatan pelatihan dari awal sampai akhir, dan hasilnya menjadi masukan bagi pengembangan pelatihan selanjutnya. Dengan kegiatan ini, selain diketahui faktor-faktor yang sempurna yang harus dipertahankan, juga diharapkan diketahui pula titik-titik lemah setiap komponen, setiap langkah, dan setiap kegiatan yang sudah dilaksanakan. Dalam kegiatan ini yang dinilai bukan hanya hasil, melainkan juga proses yang telah dilakukan. Dengan demikian diperoleh gambaran yang menyeluruh dan objektif dari kegiatan yang telah dilakukan,


7.        Pendekatan sistem untuk pelatihan

Aktivitas pelatihan tidak berlangsung dalam ruangan hampa, melainkan senantiasa terkait dengan keinginan-keinginan atau rncana-rencana individu, organisasi, atau masyarakat. Dalam kaitan ini, para ahli melihat pelatihan sebagai suatu sistem yang paling tidak mencakup tiga tahapaan pokok, yaitu penelian kebutuhan pelatihan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi pelatihan.
Penilaian kebutuhan (need assessment) pelatihan merupakan tahap yang paling penting dalam penyelenggaraan pelatihan. Tahap ini berguna sebagai dasar bagi keseluruhan upaya pelatihan. Dari tahap inilah seluruh proses pelatihan akan mengalir. Baik tahap pelaksanaan maupun tahap evaluasi sangat bergantung pada tahap ini. Jika penentuan kebutuhan pelatihan tidak akurat, maka arah pelatihan akan menyimpang.
Kebutuhan-kebutuhan bagi pelatihan harus diperiksa, demikian pula sumber daya yang tersedia untuk pelatihan baik yang dari lingkungan internal maupun dari lingkungan eksternal. Pertimbangan mengenai siapa yang harus dilatih, jenis pelatihan apa, dan bagaimana pelatihan seperti itu akan menguntungkan harus menjadi masukan dalam penilaian. Sasaran-sasaran pelatihan berasal dari penilaian. Selanjutnya sasaran-saran tersebut sangat menentukan pengembangan program maupun evaluasi pelatihan.
Berikutnya, pelaksanaan pelatihan adalah berupa implementasi program pelatihan untuk memenuhi kebutuhan peserta pelatihan untuk memenuhi kebutuhan peserta pelatihan. Pada tahap ini program pelatihan dirancang dan disajikan. Program pelatihan ini harus berisi aktivitas-aktivitas dan pengalaman belajar yang dapat memenuhi sasaran-sasaran pelatihan yang telah ditetapkan pada tahap penilaian kebutuhan pelatihan.
Akhirnya evaluasi pelatihan dilakukan untuk mengetahui dampak program pelatihan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang tekah ditentukan. Langkah pertama dalam evaluasi ini adalah menetapkan kriteria keberhasilan. Kriteria ini harus didasarkan pada sasaran awal pelatihan. Setelah kriteria dibuat, evaluasi dapat dilakukan baik terhadap peserta maupun terhadap keseluruhan komponen program pelatihan. Lebih dari itu evaluasi juga harus memiliki apakan proses dan hasil belajar dapat ditransfer ke situasi kerja atau ke dunia kehidupan nyata.
Secara komprehensif, dengan melihat pelatihan sebagai suatu sistem, Sudjana mengemukakan komponen-komponen pelatihan sebagai berikut.
Ø  Masukan sarana (instrumen input), yang meliputi keseluruhan sumber fasilitas yang menunjang kegiatan belajar. Masukan sarana dalam pelatihan ini mencakup kurikulum, tujuan pelatihan, sumber belajar, fasilitas belajar, biaya yang dibutuhkan, dan pengelola pelatihan.
Ø  Masukan mentah (raw input), yaitu peserta pelatihan dengan berbagai karakteristiknya, seperti pengetahuan, keterampilan dan keahlian, jenis kelamin, pendidikan, kebutuhan belajar, latar belakang sosial budaya, latar belakang ekonomi, dan kebiasaan belajarnya.
Ø  Masukan lingkungan (enviroment input), yaitu faktor lingkungan yang menunjang pelaksanaan kegiatan pelatihan, seperti lokasi pelatihan.
Ø  Proses (process), merupakan kegiatan intraksi eduktif yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan antara sumber belajar peserta pelatihan.
Ø  Keluaran (output), yaitu lulusan yang telah mengalami proses pembelajaran pelatihan.
Ø  Masukan lain (other output), yaitu daya dukung pelaksanaan pelatihan, seperti pemasaran, lapangan kerja, informasi, dan situasi sosial budaya yang berkembang.
Ø  Pengaruh (impact), yaitu yang berhubungan dengan hasil belajar yang dicapai oleh peserta pelatihan, yang meliputi peningkatan taraf hidup, kegiatan membelajarkan orang lain lebih lanjut, dan peningkatan partisifasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.




Terima kasih
your advertise here

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post