KONSEP
DASAR PELATIHAN
A. PENDAHULUAN
Kebutuhan
akan peningkatan penguasaan ilmu dan teknologi pada masa sekarang semakin
dirasakan seiring dengan semakin luasnya dan semakin rasionalnya
hubungan-hubungan manusia ddalam tatanan global masyarakat modern. Fenomena ini
paling tidak dapat didekati dan kecendrungan tiga elemen penting, yaitu bahwa:
(1) individu-individu semakin membutuhkan wawasan -wawasan dan penguasaan
keterampilan-keterampilan baru atau tambahan bagi penyesuaian dengan tuntunan
dunia kerja, peningkatan karier, atau aktualisai diri di masyarakat; (2)
organisasi-organisasi usaha maupun organisasi sosial memandang perlu dan
mendesak untuk memiliki sumber daya-sumber daya manusia yang mampu
mengembangkan strategi-strategi operasi yang dapat diandalkan dalam iklim usaha
yang semakin kompetetif; dan (3) pemerintah sangat berkepentingan dengan
upaya-upaya memajukan kesejahtraan sosial lewat pengembangan potensi insani
pada lingkup mikro organisasi maupun lingkup makro masyarakat. Kecendrungan
ketiga elemen penting tersebut terpacu oleh iklim dan tatanan global yang
menuntut penyesuaian-penyesuaian yang cepat, tepat, dan rasional pada mekanisme
hubungan-hubungan yang terbuka dan kompetitif, baik pada sektor-sektor domestik
maupun dalam konteks hubungan antar bangsa. Dalam kaitan dengan hal tersebut,
kebutuhan-kebutuhan akan penguasaan ilmu teknologi selama ini memang secara
konvensional telah banyak dipenuhi lewat pendidikan, khususnya pendidikan
formal atau sekolah. Pendidikan pada masa sekarang telah menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan setiap masyarakat dan bangsa. Pada umumnya
diakui bahwa pendidikan berkontribusi signifikan terhadap kesejahtraan
masyarakat dan kemajuan bangsa. Hanya saja diakui bahwa terdapat perbedaan
antar masyarakat dan bangsa dalam hal pemberian prioritas atau kadar perhatian
terhadap pendidikan, yang sampai batas-batas tertentu mencerminkan tingkat
konsistensi para pembuat kebijakan. Namun mengatasi variasi-variasi yang ada,
secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan telah menjadi sektor yang
menentukan. Namun secara subtansial, aktivitas pendidikan pada dasarnya tidak
hanya berupa pendidikan sekolah, atau cukup dengan dan berhendi pada,
pendidikan formal. Mengingat sifat-sifatnya, terutama yang lebih bercorak
akademik dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka pendiddikan sekolah (saja)
tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis dan mendesak.
Sekolah memiliki persistensinya tersendiri yang bsering lambat merespon
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya dan dunia yang lebih luas.
Pada hal sebagaimana dapat disaksikan, perubahan-perubahan yang terjadi,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknilogi sering berlangsung sangat
cepat. Perubahan-perubahan tersebut jelas perlu diimbangi secara tepat. Oleh
karena itu, dalam masyarakat modern, atau masyarakat yang dalam orientasi ke
arah masyarakat yang lebih maju, pendidikan dalam artiyang konvensional itu
pada dasarnya telah menjadi sesuatu yang standar saja. Pendidikan formal lebih
diarahkan pada pemenuhan kebutuhan akan penguasaan pengetahuan dan kemampuan
dasar yang memang sangat diperlukan. Sementra untuk memenuhi kebutuhan akan
wawasan-wawasan aktual dan kecakapan-kecakapan praktis, terutama yang bersifat
segera, masyarakat demikian lebih mengandalkan pada mekanisme-mekanisme
pelatihan yang dilaksanakan diluar sekolah.
Berbagai pelatihan memang lebih banyak dilaksanakan
dalam masyarakat atau dalam dunia kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan
fungsional. Kegiatan-kegiatan pelatihan ini sangat populer dan mudah dilakukan
karena menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan dan
pembelajaran pada pendidikan luar sekolah. Meskipun demikian dalam banyak kasus
pula pelaksanaan pelatihan ini tidak jarang dipadukan atau saling melengkapi
dengan pendidikan formal.
B. Uraian
materi
1.
Pengertian pelatihan
Istilah pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training”
dalam bahasa inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah “train”,
yang berarti: (1 memberi pelajaran dan praktik (give teaching and practice),
(2) menjadikan berkembang dalam arah yang dikhendaki (cause to grow in a
required direction), (3) persiapan (preparation), dan (4) praktik (practice).
Banyak pengertian pelatihan yang dikemukakan oleh
para ahli, antara lain sebagai berikut.
Edwin B.Flippo (1971) mengemukakan bahwa: “training
is the act of increasing the knoeledge and skill of an employee for doing a
particular job” (pelatiah adalah tindakan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan tertentu).
Michael J. Jucius (1971) mengemukakan: “the term
training is used here to indicate any process bay wich the aptitudes, skill,
and abilities of employes to perform specipic jobs are in creased” (istilah
latihan yang dipergunakan disini adalah untuk menunjukan setiap proses untuk
mengembangkan bakat, keterampilan, dan kemampuan pegawai guna menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan tertentu).
Dalam kedua pengertian diatas tampak pelatihan
dilihat dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam kenyataan,
pelatiha sebenarnya tidak harus selalu dalam kaitan dengan pekerjaan, atau
tidak selalu diperuntukkan bagi pegawai.
Simamora (1995: 287) mengartikan pelatihan sebagai
serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian,
pengetahuan, pengalaman, atau perubahan sikap seorang individu. Sementara dalam
instruksi presiden No.15 tahun 1974, pengertian pelatihan dirumuskan sebagai
berikut:
pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut
proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan
menggunakan metode yang lebih mengutamakan praktik dari pada teori.
style="display:inline-block;width:728px;height:90px"
data-ad-client="ca-pub-8067627388430876"
data-ad-slot="6600219145">
Istilah pelatihan biasa dihubungkan dengan
pendidikan. Ini terutama karena secara konsepsional pelatihan tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan. Meskipun demikian secara khusus pelatihan dapat
dibedakan dari pendidikan.untuk memahami istilah pendidikan, kriteria yang
dikemukakan oleh peters (1996, hal 45) berikut ini mungkin dapat menjadi acuan.
Kriteria tersebut antara lain sebagai berikut.
Ø Pendidikan
meliputi penyebaran hal yang bermanfaat bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Ø Pendidikan
harus melibatkan pengetahuan dan pemahaman serta sejumlah perspfektif kognitif.
Ø Pendidikan
setidaknya memiliki sejumlah prosedur, dengan asumsi bahwa peserta didik belum
memiliki pengetahuan dan kesiapan belajar secara sukarela.
Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 tahun 2005, dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terrencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Secara lebih sederhana UNESCO mendefinisikan
pendidikan sebagai “proses belajar mengajar yang terorganisir dan terus menerus
yang dirancang untuk mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, skill, dan
pemahaman yang bernilai untuk seluruh aktivitas hidup” (dalam Jaersvis 1990,
hal 105). kata kunci yang membedakan antara pembelajaran dan pendidikan, adalah
“proses belajar mengajar ysng terorganisir dan terus menerus”. hal ini
mengimplikasikan adanya keterlibatan semacam pengajar dan mungkin juga
institusi,walaupun pendidikan tersebut bisa saja melalui teks ataupun program
kompute. Di samping itu, tergambar bahwa pendidikan bukan merupakan proses yang
terjadi dalam waktu singkat, namun memerlukan kurun waktu tertentu. Sebaliknya,
pembelajaran tidak harus selalu melibatkan proses belajar mengajar yang sering
kali terjadi dalam kerangka waktu yang lebih pendek dan dalam cakupan yang
lebih sempit.
Definisi yang diberikan UNESCO, menunjukan bahwa pendidikan
lebih bersifat umum dan bukan merupakan aktivitas yang spesifik. Pendidikan
digambarkan memiliki kaitan dengan pengembangan pengetahuan dan pemahaman.
Pengguaan kata “pemahaman” untuk membedakannya
dengan “pengetahuan” mengimplikasikan bahwa yang dipermasalahkan lebih dari
sekedar informasi dan kemampuan untuk berkomunikasi atau bertindak berdasarkan
suatu formula, resep, dan instruksi (karena yang seperti ini lebih cendrung
merupakan karakteristik pengetahuan, bukan pendidikan). kemampuan menyunsun
tanggal, menjawab pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum, atau mereproduksi
penjelasan yang sedikit agak komplek tidak menunjukan seseorang telah terdidik.
Seseorang yang terdidik haruslah memiliki
pengetahuan penjelasan, dan alasan yang sudah terinternalisasi dan dia mampu
memberikan makna. Dia harus memahami apa yang sebenarnya di balik apa yang
terlihat, dia mampu memahami suatu hal dalam sebuah kerangka pemahaman teoritis
yang lebih luas.
Pendekatan yang berbeda dalam memahami apa yang
dimaksud pendidikan telah dikemukakan pada sosiolog, dengan memfokuskan pada
fungsi dan tempatnya dalam masyarakat (Blackledge and Hunt. 1985). pengetahuan
dan pemahaman, yang merupakan tujuan pendidikan, lebih dipandang sebagai
sesuatu yang terbentuk secara sosial, bukan sesuatau yang absolut.
Sistem pendidikan dipandang sebagai perangkat
negara, yang fungsinya untuk menciptakan masyarakat (pekerja) yang memiliki
kualitas dan keterampilan yang dibutuhkan. Sehingga berdasarkan pandangan
tersebut, pendidikan merupakan usaha untuk mereproduksi klasifikasi sosial dan
ekonomi (lihat Boudleu and Passeron 1990, Bowles and Gintis 1976, Young 1998).
berdasarkan pandangan tersebut, makna pendidikan tentu saja tidak bisa dipahami
secara individual maupun psikologis, tetapi perlu adanya pemahaman berdasarkan
konteks sosialnya yang lebih luas.
Konteks yang dimaksud tidak hanya meliputi institusi
pendidikan, institusi pendukung lainya, maupun lingkungan dimana pendidikan
tersebut dilaksanakan, melainkan juga meliputi pertimbangan terhadap posisi
hubungan, maupun keterkaitan dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan
memiliki implikasi politis, ekonomi, teknologi, dan sosial, serta harus tetap
menjadi konsep yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, pelatihan biasanya diasosiasikan pada
mempersiapkan seseorang dalam melaksanakan suatu peran atau tugas, biasanya
dalam dunia kerja. Namun demikian, pelatihan biasa juga dilihat sebagai elemen
khusus atau keluaran dari suatu proses pendidikan yang lebih umum. Peter
mengemukakan, “konsep pelatihan bisa diterapkan ketika (1) ada sejumlah jenis
keterampilan yang harus dikuasi, (2) latihan diperlukan untuk menguasai
keterampilan tersebut, (3) hanya di perlukan sedikit penekanan pada teori”.
Definisi di atas memberikan penekanan pada “penguasaan”
tugas atau peran dan kebutuhan untuk melakukan pengulangan latihan hingga bisa
melakukan sendiri, dan juga menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan relatif
spontan dan tanpa dimotivasi pengetahuan dan pemahaman.
Goldstein dan Gressner (1988), memberikan defenisi
pelatihan yang ditekankan pada tempat dilaksanakan pelatihan. Mereka
mendefinisakan pelatihan sebagai usaha sistematis untuk menguasai keterampilan,
peraturan, konsep ataupun cara berperilaku yang berdampak pada peningkatan
kerja. Minsalnya, untuk pelatihan untuk suatu jabatan kerja, setting pelatihan
diusahakan semirip mungkin dengan lingkungan kerja sebenarnya. Contoh lainya,
pelatihan juga bisa dilakukan ditempat yang sangat berbeda dengan lingkungan
kerja yang sebenarnya, minsalnya di ruangan kelas.
Definisi kedua ini menambahkan informasi tentang
fungsi pelatihan pada defenisi pertama, sehingga lebih memperjelas bahwa
pelatihan setidaknya terkait dengan perilaku setidaknya dalam menghadapi tuga.
Yang perlu dipertanyakan apakah hal ini bisa efektif dilakukan tanpa
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman peserta pelatihan, jika pelatih hanya
membangun konsep dan perilaku peserta pelatihan. Namun defenisi kedua ini
mempersempit lokasi pelatihan, karena berfokus pada pelatihan yang berhubungan
dengan pekerjaan,
Konsep pelatihan juga di ungkapkan oleh Dearden
(1984), yang menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar
mengajar dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu
atau efesiensi kerja. Sebagai hasil pelatihan, peserta diharapkan mampu
merespon dengan tepat dan sesuai situasi tertentu seringkali pelatihan
dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja yang langsung berhubungan sengan
situasinya.
Dearden lebih memilih menggunakan konsep kompetensi
dibandingkan kinerja. Dia membatasi konsep tersebut untuk tujuan mempersiapkan
peserta untuk bertindak berdasarkan situasi-situasi yang biasanya terjadi,
serta menerapkannya pada saat melakukan tanggung jawab pekerjaan, baik beban
yang lebih kompleks maupun lebih sederhana.
Walaupun para praktisi dan akademisi memiliki
pandangan yang cukup jelas tentang makna pelatihan, namun tidak demikian halnya
dengan masyarakat umum. Minsalnya saja, walaupun sebagian besar masyarakat
memiliki pemahaman yang cukup tentang istilah “pendidikan “ yang diasosiasikan
dengan sekolah, akademi, universitas, ataupun istitusi pendidikan lainya, namun
tidak bisa dikatakan mereka juga memiliki pemahaman yang cukup tentang
pelatihan. Penelitian bari-baru ini terhadap masalah tersebut di Inggris sampai
pada kesimpulan sebagai berikut ini.
Ø Masyarakat
umumnya menggunakan istilah pelatihan untuk mengacu pada seperangkaty
kegiatan-kegiatan yang lebih sempit dibandingkan kegiatan-kegiatan yang
dipahami sebagai pelatihan untuk suatu profesi tertentu.
Ø Bagi
sebagian besar masyarakat pelatihan dilaksanakan di kursus-kursus formal.
Ø Para
penguasa memiliki definisi yang lebih sempit tentang pelatihan dibandingkan
dengan para pekerja.
Ø Kegiatan-kegiatan
yang termasuk bagian dari definisi pelatihan akan sangat beragam di setiap
kelompok masyarakat.
Ø Kegiatan-kegiatan
yang muncul atas inisiatif sendiri dan atau swadaya sedikit tidak mungkin.
Ø Bagi
sebagian besar masyarakat pelatihan berkaitan erat dengan vokasional
Ø Bagi
sebagian besar masyarakat, terdapat batasan yang tidak begitu jelas antara
pelatihan dan pendidikan.
Sebagai konsep dasar, istilah pendidikan (education)
dan pelatihan (traning) dan, sudah banyak didiskusikan secara luas, baik
dalam konteks yang bertentangan (dikotomis), saling menambahkan maupun secara
terpisah. Minsalnya, pendidikan dan pelatihan saat dipandang sebagai dua
terminologi yang bertentanga, yang pertama dianggap umum dan berdasarkan
pengetahuan, sedangkan yang berikutnya lebih spesifik berdasarkan skill.
Analisis yang berdasarkan konteks yang saling menambahkan atau terpisah
seringkali menggunakan diagram, dimana konsep-konsep yang didiskusikan tersebut
digambarkan sebagai lingkaran atau elips. Dalam diagram tersebut, pelatihan
dipersentasikan sebagai sebuah elips kecil yang merupak bagian dari elips yang
lebih besar sebagai gambaran pendidikan. Elips yang lebih besar tadi merupakan
bagian dari elips lebih besar lagi yang merupakan representasi pembelajaran,
sperti yang terlihat pada gambar (a). sementara itu, dalam konteks kotomis,
pendidikan dan pelatihan direpersentasikan sebagai dua buah elips yang saling
beririsan, ilustrasinya seperti pada gambar (b).
A B
Gambar 1.1 representasi pendidikan dan pelatihan
1)
Pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan dalam
konteks yang saling menambahkan.
2)
Pendidikan dan pelatihan dalam konteks
yang saling terpisah.
Perbedaan antara pendidikan dengan pelatihan dapat
dianalogikan seperti halnya perbedaan antara pendidikan dan pembelajaran, dalam
konteks membatasi dimensi lain terhadap area kajian. Pendekatan yang paling
umum untuk membuat pembeda antara kedua istilah tersebut adalah dengan
menggunakan konsep keluasan dan kedalaman cakupan spektrum
pendidikan/pembelajaran dan pendidika/.pelatihan
Dari keseluruhan penjelasan tentang istilah
pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan suatu aktivitas yang selalu dilakukan oleh setiap manusia, pendidikan
dan pealtihan merupakan bagian dari proses pembelajaran manusia.
Perbedaan antara pendidikan dari pelatihan adalah pertama,
pendidikan merupakan aktivitas pembelajaran yang sangat luas dan dalam
dibandingkan pelatihan. Kedua, pelatihan lebih berkaitan dengan
pengembangan keterampilan tertentu, sedangkan pendidikan lebih berkaitan dengan
tingkatan-tingkatan pemahaman secara umum, secara lebih rinci, Notoatmodjo
(1998:26) mengemukakan perbandingan antara pendidikan dan pelatihan pada
beberapa aspek. Pertama, pada aspek pengembangan kemampuan, pendidikan
lebih menekankan pada pengembangan kemampuan yang menyeluruh, sedangkan
pelatihan lebih menekankan pengembangan kemampuan khusus. Kedua, pada
aspek area kemampuan, pendidikan menekankan pada kemampuan kognitif, afektof,
dan psikomotor; sedangkan pelatihan lebih menekankan pada kemampuan psikokotor.
Ketiga, pada aspek jangka waktu pelaksanaan, pendidikan lebih bersifat
jangka panjang, sedangkan pelatihan lebih bersifat jangka pendek. Keempat, pada
aspek materi yang disampaiakan, pendidikan lebih bersifat umum, sedangkan
pelatihan bersifat khusus. Kelima, pada aspek penggunaan metode,
pendidikan lebih bersifat konvensional. Keenam, pada aspek
penghargaanakhir, pendidikan memberikan gelar, sedangkan pelatihan memberikan
sertifikat.
Ikhtisar perbandingan antara pendidikan dan latihan
ini dapat dilihat pada tabel 1.11
No.
|
Aspek
|
Pendidikan
|
pelatihan
|
1.
|
Pengembangan kemampuan
|
Menyeluruh
(overall)
|
Khusus(Ispesific)
|
2.
|
Area
kemampuan
|
Kognitif,
afektif, psikomotrik.
|
Psikomotor
|
3.
|
Jangka
waktu pelaksanaan
|
Jangka panjang (long term)
|
Jangka
pendek(shot term)
|
4.
|
Materi
|
Lebih
umum
|
Lebih
khusus
|
5.
|
Penggunanan
metode pembelajaran
|
konvensional
|
Inkonvensional
|
6.
|
Penghargaan
akhir
|
Gelar
(degree)
|
Sertifikat
(non degree)
|
Sumber: Notoatmodjo, 1998: 26.
Dari uraian mengenal pengertian-pengertian diatas
dapat disimpulkan beberapa makna pelatihan sebagai berikut.
Ø Pelatitihan
merupakan proses yang disengaja atau direncanakan, bukan kegiatan yang bersifat
kebetulan atau spontan. Pelatihan merupakan proses yang terdiri dari
serangkaian kegiatan yang sistematis dan terencana yang terarah pada suatu
kegiatan.
Ø Pelatihan
merupakan bagian pendidikan yang menyagkut proses belajar yang dilaksanakan di
luar sistem sekolah, memerlukan waktu yang relatif singkat, dan lebih
menekankan pada praktik.
Ø Pelatihan
diselenggarakan baik terkait pada kebutuhan dunia kerja maupun dalam lingkungan
masyarakat yang lebih luas.
2.
Tujuan pelatihan
Dale S.Beach (1975) mengemukakan, “the objective
oftraining is to achieve a change in the behavior of theose trained”
(tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh perubahan tingkah laku mereka yang
dilatih). sementara itu dari pengertian pelatihan yang dikemukakan Edwin B.
Flippo, secara lebih rinci tanpak bahwa tujuan pelatihan adalah untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Penulis lain mengemukakan bahwa tujuan pelatihan itu
tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan
juga untuk mengembangkan bakat. Hal ini sebagaimananayang tanpak pada definisi
pelatihan yang dikekukakan oleh Michael J.Jucius di atas bahwa pelatihan
bertujuan untuk mengembangkan bakat, keterampilan, dan kemampuan. Atas dasar
ini Moekijat (1981) mengatakan bahwa tujuan umum pelatihan adalah untuk.
Ø Untuk
mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih
cepat dan lebih efektif.
Ø Untuk
mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara
rasional.
Ø Untuk
mengembangkan sikap, sehingga dapat menimbulkan kemauan untuk bekerjasama.
Secara khusus dalam kaitan dengan pekerjaan, Simamora (1995) mengelompokkan tujuan pelatihan
kedalam lima bidang, yaitu:
ü Memutahirkan
keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi. Melalui pelatihan,
pelatihan memastikan bahwa karyawan dapat secara efektif menggunakan
teknologi-teknologi baru.
ü Mengurangi
waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan.
ü Membantu
memecahkan permasalahan operasional.
ü Mempersiapkan
karyawan untuk promosi, dan
ü Mengorientasikan
karyawan terhadap organisasi.
Sedangkan menurut Marzuki (1992:12), ada tiga tujuan
pokok yang harus dicapai dengan pelatihan, yaitu:
Ø Memenuhi
kebutuhan organisasi.
Ø Memperoleh
pengertian dan pemahaman yang lengkap tentang pekerjaan dengan standar dan
kecepatan yang telah ditetapkan dan dalam keadaan yang normal serta aman.
Ø Membantu
para pemimpin organisasi dalam melaksanakan tugasnya.
3.
Prinsip-prinsip pelatihan
Karena pelatihan merupakan bagian dari proses
pembelajaran, maka prinsip-prinsip pelatihanpun dikembangkan dari
prinsip-prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip umum agar pelatihan behasil adlah
sebagi berikut.
a.
Prinsip perbedaan waktu
Perberdaan-perbedaan
individu dalam latar belakang sosial pendidikan, pengalaman, minat, dan
keperibadian harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pelatihan.
b.
Prinsip motivasi
Agar peserta
pelatihan belajar dengan sangat giat perlu adanya motivasi. Motivasi dapat
berupa pekerjaan atau kesempatan berusaha, penghasilan, kenaikan pangkat atau
jabatan, dan peningkatan kesejahtraan serta kualitas hidup. Dengan begitu,
pelatihan dirasakan bermakana oleh peserta pelatihan.
c.
Prinsip pemilihan dan pelatihan para
pelatihan
Efektivitas program pelatihan antara lain bergantung
pada para pelatih yang mempunyai minat dan kemampuan melatih. Anggapan bahawa
seseorang yang dapat mengerjakan sesuatu dengan dengan baik akan dapat
melatihnya dengan baik pula tidak sepenuhnya benar. Karena itu perlu ada
pelatihan bagi para pelatih. Selain itu pemilihan dan pelatihan para pelatih
dapat menjadi motivasi tambahan bagi peserta pelatihan.
d.
Prinsip belajar
Belajar harus dimulai dari yang mudah menuju kepada
yang sulit, atau dari yang sudah diketahui menuju kepada yang belum diketahui.
e.
Prinsip partisipasi aktif
Partisipasi aktif dalam proses pembelajaran
pelatihan dapat meningkatkan minat dan motivasi peserta pelatihan.
f.
Prinsip fokus pada batasan materi
Pelatihan hanya dilakukan untuk menguasai materi
tertentu, yaitu melatih keterampilan dan tidak dilakukan terhadap pengertian,
pemahaman, sikap, dan penghargaan.
g.
Prinsip diagnisis dan koreksi
Pelatihan berfungsi sebagai diagnosis melalui usaha
yang berulang-ulang dan mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang
timbul.
h.
Prinsip pembagian waktu
Pelatihan dibagi menjadi sejumlah kurun waktu yang
singkat.
i.
Prinsip keseriusan
Pelatih jangan dianggap sebagai usaha sambilan yang
dilakukan dengan seenaknya.
j.
Prinsip kerjasama
Pelatihan dapat berhasil dengan baik melalui
kerjasama yang apik antara semua semua
komponen yang terlibat dalam pelatihan.
k.
Prinsip metode pelatihan
Terdapat berbagai metode pelatihan, dan tidak ada
satupun metode pelatihan yang dapat digunakan untuk semua jenis pelatihan.
Untuk itu perlu dicarikan metode pelatihan yang cocok untuk suatu pelatihan.
l.
Prinsip hubungan pelatihan dengan
pekerjaan atau kehidupan nyata
Pekerjaan, jabatan, atau kehidupan nyata dalam
organisasi atau dalam masyarakat dapat memberikan informasi mengenai
pengetahuan, keterampilan, dan sikap apa yang dibutuhkan, sehingga perlu
diselenggrakan pelatihan.
4.
Landasan-landasan pelatihan
Terdapat beberapa landasan yang mengukuhkan
eksistensi pelatihan. Landasan-landasan dimaksud adalah:
a.
Landasn filosofis
Pelatihan merupakan wahana formal yang berperan
sebagai instrumen yang menunjang pembangunan dan mencapai masyarakat yang maju,
tangguh, mandiri, dan sejahtra berdasarkan nilai-nilai yang berlaku. Dengan
demikian pelatihan harus didasarkan pada sistem nilai yang diakui dengan
terarah pada penyediaan tenaga yang berkualifikasi agar mampu mengemban tugas
dan melaksanakan perannya dalam organisasi atau masyarakat.
b.
Landasan humanistik
Pelatihan didasarkan pada pandangan yang
menitikberatkan pada kebebasan, nilai-nilai, kebaikan, harga diri, dan
keperibadian yang utuh. Diatas landasan ini maka proses pembelajaran pelatihan
dicirikan oleh hal-hal berikut.
Ø Adanya
pemberian tanggung jawab dan kebebasan bekerja kepada peserta.
Ø Pelatih
lebih banyak berperan sebagai narasumber, tidak mendominasi peserta.
Ø Belajar
dilakukan oleh dan untuk diri sendiri
Ø Ada
keseimbangan antara tugas umum dan tugas khusus.
Ø Motivasi
belajar tinggi.
Ø Evaluasi
bersifat komprehensif.
c.
Landasan psikologis
Dalam pandangan psikologi, karakteristik manusia
dapat dijabarkan kedalam seperangkat tingkah laku. Empat pandangan psikologi
yang mendasari pelatihan, yaitu psikologi pelatihan, psikologi sibernestik,
desain sistem, dan psikologi behavioristik. Psikologi pelatihan menitik
beratkan pada analisis tugas dan rancangan pelatihan yang mencakup berbagai
komponen yang kompleks. Psikologi sibernestik memusatkan perhatian pada sistem
balikan yang dinamis dan pengaturan sendiri kegiatan pelatihan. Disai sistem
mengutamakan analisis sistem pelatihan. Psikologi behavioristik menekankan pada
demonstrasi dan pelatihan bertahap.
d.
Landasan Sosio-Demografis
Permasalahan peningkatan kesejahtraan ekonomi dan
sosial terkait dengan upaya penyediaan dan peningkatan kualitas tenaga kerja.
Untuk itu pelatihan yang terintegrasi diperlukan guna mempersiapkan
tenaga-tenaga yang handal yang relevan dengan tuntutan lapangan kerja dan
pembangunan.
e.
Landasan kultural
Pelatihan yang terintegrasi yang berfungsi
mengembangkan sumber daya manusia merupakan bagian penting dari upaya
membudayakan manusia.
5.
Jenis-jenis pelatihan
Terdapat bermacam-macam pelatihan. Dale Yoder (1958)
mengemukakan jenis-jenis pelatihan itu dengan memandangnya dari lima sudut,
yaitu:
a.
Siapa yang dilatih (who gets
trained), artinya pelatihan itu diberikan kepada siapa. Dari sudut ini maka
pelatihan dapat diberikan kepada calon pegawai, pegawai baru, pegawai lama,
pengawas, manajer, staf ahli, remaja, pemuda, orang lanjut usia, dan anggota
masyarakat umumnya.
b.
Bagaiman ia dilatih (how gets
trained), artinya dengan metode apa yang dilatih. Dari sudut ini pelatihan
dapat dilaksanakan dengan metode pemagangan, permainan peran, permainan bisnis,
pelatihan sensivitas, instruksi kerja, dan sebagainya.
c.
Di mana ia dilatih (where he gets
trained), artinya di mana pelatihan mengambil tempat tempat. Dari sudut ini
pelatihan dapat diselenggarakan di tempat kerja, di sekolah, di kampus, di
tempat khusus, di tempat kursus, atau di lapangan.
d.
Bilamana ia dilatih (when he gets
trained), artinya kapan pelatihan itu diberikan. Dari sudut ini pelatihan
dapat dilaksanakan sebelum seseorang mendapat pekerjaan, setelah seseorang
mendapat pekerjaan, setelah ditempatkan, menjelang pensiun, dan sebagainya.
e.
Apa yang dibelajarkan kepadanya (what
he is taught), artinya materi pelatihan apa yang diberikan. Dari sudut ini
pelatihan dapatberupa pelatihan kerja atau keterampilan, pelatihan
kepemimpinan, pelatihan keamanan, pelatihan hubungan manusia, pelatihan
kesehatan kerja, pelatihan penanggulangan bencana,pelatihan penumpasan teroris,
dan sebagainya.
Sementara itu J.C Denyer (1973) yang melihat dari
sudut siapa yang dilatih dalam konteks suatu organisasi, membedakan pelatihan
atas empat macam, yaitu:
1.
Pelatihan induksi (induction
training), yaitu pelatihan perkenalan yang biasa deberikan kepada pegawai
baru dengan tidak memandang tingkatannya. Pelatihan induksi dapat diberikan
kepada calon pegawai lulusan SD, SLTP, SMA, SMK, kesetaraan, dan lulusan
perguruan tinggi.
2.
Pelatihan kerja (job training), yaitu pelatihan yang
diberikan kepada semua pegawai dengan maksud untuk memberikan petunjuk khusus
guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.
3.
Pelatihan supervisor (supervisory
training), yaitu pelatihan yang diberikan kepada supervisor atau pimpinan
tingkat bawah.
4.
Pelatihan manajemen (management
training), yaitu pelatihan yang diberikan kepada manajemen atau pemegang
jabatan manajemen.
5.
Pengembangan eksekutif (executive
development), yaitu pelatihan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan pejabat-pejabat pimpinan.
Adapun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian disebutkan dua macam pelatihan dilihat dari sudut kapan
pelatihan itu diberikan, yaitu latihan prajabatan dan latihan dalam
jabatan.latihan prajabatan (pre service training) adalah pelatihan yang
diberikan kepada calon pegawai negeri sipil dengan tujuan agar ia dapat trampil
melaksanakan tugas yang akan diberikan kepadanya. Sedangkan latihan dalam
jabatan (in service training) adalah pelatihan yang bertujuan untuk
meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan. Selain itu dalam
Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 dikenal pila dua macam pelatihan dilihat
dari sudut tujuanya, yaitu pelatihan keahlian dan pelatihan kejuruan. Pelatihan
keahlian adalah bagian dari pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
keterampilan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, termasuk
didalamnya pelatihan ketatalaksanaan. Sedangkan pelatihan kejuruan adalah
bagian dari pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang pada umumnya bertaraf lebih rendah.
6.
Manajemen pelatihan
Dengn jenis dan berbagai karakteristik apa pun, pada
akhirnya pelatihan perlu dikelola atau dimanaje. Pengelolaan pelatihan secara
tepat dan profesional dapat memberikan makna fungsional pelatihan terhadap
individu, organisasi, maupun masyarakat.
Pelatihan memang perlu diorganisasikan. Oleh karena
itu, biasa dikenal adanya organizer atau panitia pelatihan. Badan-badan
pendidikan dan pelatihan, lembaga-lembaga kursus, dan panitia-panitia yang
dibentuk secara isidental, pada dasarnya adalah organizer pelatihan. Sementara
itu dalam organisasi perusahaan biasa dikenal pula divisi yang tersendiri
maupun sabagai badan yang terintegerasi yang bertanggung jawab melaksanakan
tugas-tugas pengembangan sumber daya manusia. Secara manajerial, fungsi-fungsi
organizer pelatihan adalah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
pelatihan. Sementara secara oprasional, tugas-tugas pokok organizer pelatihan
adalah meliputi hal-hal berikut.
a.
Mengurusi kebutuhan pelatihan pada
umumnya;
b.
Mengembangkan kebijakan dan prosedur
pelatihan;
c.
Mengelola anggaran pelatihan;
d.
Mengembangkan dan menerapkan
administrasi pelatihan;
e.
Meneliti metode-metode pelatihan yang
sesuai untuk ditetapkan;
f.
Mempersiapkan materi, peralatan,
fasilitas pelatihan; dan
g.
Menganalisis dan memperbaiki sestem
pelatihan.
Sudjana (1996) mengembangkan sepuluh langkah
pengelolaan pelatihan sebagai berikut.
1)
Rekrutmen peserta pelatihan
Rekrutmen peserta dapat menjadi kunci yang bisa
menentukan keberhasilan langkah selanjutnya dalam pelatihan. Dalam rekrutmen
ini penyelenggara menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
peserta terutama yang berhubungan dengan karakteristik peserta yang bisa mengikuti
pelatihan. Kualitas peserta pelatihan ditentukan pada saat rekrutmen ini.
Biasanya karakteristik peserta bisa dilihat secara internal dan eksternal. Yang
termasuk karakteristik internal diantaranya adalah kebutuhan, minat,
pengalaman, tugas, pekerjaan, dan pendidikan. Sedangkan yang tergolong
karakteristik eksternal adalah lingkungan keluarga, status sosial, pergaulan,
dan status ekonomi.
2)
Identifikasi kebutuhan belajar, sumber
belajar, dan kemungkinan hambatan
Identifikasi kebutuhan belajar adalah kegiatan
mencari, menemukan, mencatat, dan mengelolah data tentang kebutuhan belajar
yang diinginkan atau diharapkan oleh peserta pelatihan atau oleh organisasi.
Untuk dapat menemukan kebutuhan belajar ini dapat digunakan berbagai
pendekatan. Kauffman (1972) mengemukakan tiga model pendekatan, yakni
pendekatan induktif, pendekatan deduktif, dan pendekatan campuran induktif
deduktif (Abdulhak, 1995:26). sedangkan Rumelar mengemukakan empat pendekatan,
survey, studi kompetensi, analisis tugas, dan analisis performance.
Sementara Arif (1985:34) mengemukan tiga sumber yang bias dijadikan dasar
identifikasi kebutuhan belajar, yaitu individu yang diberi pelayanan pelatihan, organisasi, dan atau
lembaga yang menjadi sponsor, dan masyarakat secara keseluruhan.
3)
Menetukan dan merumuskan tujuan
pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan akan menuntun
penyelenggaraan pelatihan dari awal sampai akhir kegiatan, dari pembuatan
rencana pembelajaran sampai evaluasi hasil belajar. Oleh karena it, perumusan
tujuan harus dilakukan dengan cermat. Tujuan pelatihan secara umum berisi
hal-hal yang harus dicapai oleh pelatihan. Tujuan umum itu dijabarkan menjadi
tujuan-tujuan yang lebih spesifik. Untuk memudahkan penyelenggara, perumusan
tujuan harus dirumuskan secara kongkret dan jelas tentang apa yang harus
dicapai dengan pelatihan tersebut.
4)
Menyunsun alat evaluasi dan evaluasi
akhir
Evaluasi awal dimaksudkan untuk mengetahui “entry
behavioral level” peserta pelatihan. Selain agar penentuan materi dan
metode pembelajaran dapat dilakukan dengan tepat, penelusuran ini juga
dimaksudkan untuk mengelompokkan dan menempatkan peserta pelatihan secara
proposional. Evaluasi akhir dimaksudkan untuk mengukur tingkat penerimaan
materi oleh peserta pelatihan. Selain itu juga untuk mengetahui materi-materi
yang perlu diperdalam dan diperbaiki.
5)
Menyunsun urutan kegiatan pelatihan
Pada tahap ini penyelenggara pelatihan menentukan
bahan belajar, memilih dan menentukan metode dan teknik pembelajaran,serta
menentukan media yang akan digunakan. Urutan yang harus disusun disini adalah
seluruh rangkaian aktivitas mulai dari pembukaan sampai penutupan. Dalam
menyunsun urutan kegiatan ini faktor-faktor yang harus diperhatikan antara
lain:
Ø Peserta
pelatihan
Ø Sumber
belajar
Ø Waktu
Ø Fasilitas
yang tersedia
Ø Bentuk
pelatihan
Ø Bahan
pelatihan
6)
Pelatihan untuk pelatih
Pelatih harus memahami program pelatihan secara
menyeluruh. Urutan kegitan, luang lingkup, materi pelatihan, metode yang
digunakan, dan media yang dipakai hendaknya dipahami benar oleh pelatih. Selain
itu pelatih juga harus memahami karakteristik peserta pelatihan dan
kebutuhannya. Oleh karena utu, orientasi bagi pelatih sangat penting untuk
dilakukan.
7)
Melaksanakan evaluasi bagi peserta
Evaluasi awal yang biasanya dilakukan dengan pre
test dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.
8)
Mengimplementasikan pelatihan
Tahap ini merupakan inti dari kegiatan pelatihan,
yaitu proses intraksi edukatif antara sumber belajar dengan warga belajar dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses ini terjadi berbagai dinamika
yang semuanya harus diarahkan untuk efektivitas pelatihan. Seluruh kemampuan
dan seluruh komponen harus disatukan agar proses pelatihan menghasilkan output
yang optimal.
9)
Evaluasi akhir
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
belajar. Dengan kegiatan ini diharapkan diketahui daya serap dan penerimaan
warga belajar terhadap berbagai materi yang telah disampaikan. Dengan begitu
penyelenggara dapat menentukan langkah tindak lanjut yang harus dilakukan.
10) Evaluasi
program pelatihan
Evaluasi program pelatihan merupakan kegiatan untuk
menilai seluruhnya kegiatan pelatihan dari awal sampai akhir, dan hasilnya
menjadi masukan bagi pengembangan pelatihan selanjutnya. Dengan kegiatan ini,
selain diketahui faktor-faktor yang sempurna yang harus dipertahankan, juga
diharapkan diketahui pula titik-titik lemah setiap komponen, setiap langkah,
dan setiap kegiatan yang sudah dilaksanakan. Dalam kegiatan ini yang dinilai
bukan hanya hasil, melainkan juga proses yang telah dilakukan. Dengan demikian
diperoleh gambaran yang menyeluruh dan objektif dari kegiatan yang telah
dilakukan,
7.
Pendekatan sistem untuk pelatihan
Aktivitas pelatihan tidak berlangsung dalam ruangan
hampa, melainkan senantiasa terkait dengan keinginan-keinginan atau
rncana-rencana individu, organisasi, atau masyarakat. Dalam kaitan ini, para
ahli melihat pelatihan sebagai suatu sistem yang paling tidak mencakup tiga
tahapaan pokok, yaitu penelian kebutuhan pelatihan, pelaksanaan pelatihan, dan
evaluasi pelatihan.
Penilaian kebutuhan (need assessment)
pelatihan merupakan tahap yang paling penting dalam penyelenggaraan pelatihan.
Tahap ini berguna sebagai dasar bagi keseluruhan upaya pelatihan. Dari tahap
inilah seluruh proses pelatihan akan mengalir. Baik tahap pelaksanaan maupun
tahap evaluasi sangat bergantung pada tahap ini. Jika penentuan kebutuhan
pelatihan tidak akurat, maka arah pelatihan akan menyimpang.
Kebutuhan-kebutuhan bagi pelatihan harus diperiksa,
demikian pula sumber daya yang tersedia untuk pelatihan baik yang dari
lingkungan internal maupun dari lingkungan eksternal. Pertimbangan mengenai
siapa yang harus dilatih, jenis pelatihan apa, dan bagaimana pelatihan seperti
itu akan menguntungkan harus menjadi masukan dalam penilaian. Sasaran-sasaran
pelatihan berasal dari penilaian. Selanjutnya sasaran-saran tersebut sangat
menentukan pengembangan program maupun evaluasi pelatihan.
Berikutnya, pelaksanaan pelatihan adalah berupa
implementasi program pelatihan untuk memenuhi kebutuhan peserta pelatihan untuk
memenuhi kebutuhan peserta pelatihan. Pada tahap ini program pelatihan
dirancang dan disajikan. Program pelatihan ini harus berisi aktivitas-aktivitas
dan pengalaman belajar yang dapat memenuhi sasaran-sasaran pelatihan yang telah
ditetapkan pada tahap penilaian kebutuhan pelatihan.
Akhirnya evaluasi pelatihan dilakukan untuk
mengetahui dampak program pelatihan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang tekah
ditentukan. Langkah pertama dalam evaluasi ini adalah menetapkan kriteria
keberhasilan. Kriteria ini harus didasarkan pada sasaran awal pelatihan.
Setelah kriteria dibuat, evaluasi dapat dilakukan baik terhadap peserta maupun
terhadap keseluruhan komponen program pelatihan. Lebih dari itu evaluasi juga
harus memiliki apakan proses dan hasil belajar dapat ditransfer ke situasi
kerja atau ke dunia kehidupan nyata.
Secara komprehensif, dengan melihat pelatihan
sebagai suatu sistem, Sudjana mengemukakan komponen-komponen pelatihan sebagai
berikut.
Ø Masukan
sarana (instrumen input), yang meliputi keseluruhan sumber fasilitas
yang menunjang kegiatan belajar. Masukan sarana dalam pelatihan ini mencakup
kurikulum, tujuan pelatihan, sumber belajar, fasilitas belajar, biaya yang
dibutuhkan, dan pengelola pelatihan.
Ø Masukan
mentah (raw input), yaitu peserta pelatihan dengan berbagai
karakteristiknya, seperti pengetahuan, keterampilan dan keahlian, jenis
kelamin, pendidikan, kebutuhan belajar, latar belakang sosial budaya, latar
belakang ekonomi, dan kebiasaan belajarnya.
Ø Masukan
lingkungan (enviroment input), yaitu faktor lingkungan yang menunjang
pelaksanaan kegiatan pelatihan, seperti lokasi pelatihan.
Ø Proses
(process), merupakan kegiatan intraksi eduktif yang terjadi dalam
pelaksanaan kegiatan pelatihan antara sumber belajar peserta pelatihan.
Ø Keluaran
(output), yaitu lulusan yang telah mengalami proses pembelajaran
pelatihan.
Ø Masukan
lain (other output), yaitu daya dukung pelaksanaan pelatihan, seperti
pemasaran, lapangan kerja, informasi, dan situasi sosial budaya yang
berkembang.
Ø Pengaruh
(impact), yaitu yang berhubungan dengan hasil belajar yang dicapai oleh
peserta pelatihan, yang meliputi peningkatan taraf hidup, kegiatan
membelajarkan orang lain lebih lanjut, dan peningkatan partisifasi dalam
kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.
This post have 0 komentar